Anak Agung Gede Raka Payadnya

Beliau merupakan pencipta Drama Gong sebagai hiburan kesenian masyarakat Bali.

Dalam perjalanan dan biodatanya yang dikutip dari artikel Bali Post, Anak Agung Gede Raka Payadnya adalah berasal dari Abianbase Gianyar kelahiran 14 Agustus 1944 merupakan sosok seniman low profile yang akrab dengan peran "raja muda" di panggung pentas pada tahun 1970-an.

Beliau dianugerahi penghargaan Dharma Kusuma 2004 oleh Pemda Propinsi Bali. 

Penghargaan ini diberikan atas sumbangsih dan perjuangannya pada kesenian terutama seni drama gong yang selama ini digelutinya dengan kelompok Sekaa Drama Gong Wijaya Kusuma Abianbase Gianyar, ayah empat anak dan sejumlah cucu ini sudah menorehkan sejarah dalam lintas panjang seni drama gong itu sendiri.

***
Dalam kisahnya beliau tamat Kokar pada tahun 1965 dan sempat kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Seni Rupa Unud. Setelah mengikuti Mapram atau meplonco dulu, beliau pulang dan diminta oleh Sekaa Gong Wijaya Kusuma di banjarnya untuk membuat pentas sendratari. Waktu yang diberikan terlalu mendesak, sehingga harus selesai dan bisa pentas hari yang sudah ditentukan. 

Dengan memakai penari-penari Legong seperti penari Oleg, Tenun, Tani, Margapati atau lainnya, dalam waktu delapan hari sendratari itu harus sudah selesai. 

Melihat kondisi penari dan waktu yang diberikan terlalu mendesak, beliau merasa tidak akan bisa membuat sendratari. Untung saja sejak bersekolah di Kokar beliau punya pengetahuan menari, sehingga tidak terlalu sulit untuk membuatnya. Beliau kompromi bersama teman-teman, kemudian muncul ide untuk membuat pertunjukan seperti drama klasik, tapi adegannya seperti sendratari. Perbedaannya, pemain tidak menari. 

Sebagai pemainnya, beliau banyak didukung oleh guru-guru, muda-mudi, dan tokoh masyarakat Abianase, Gianyar. Oleh karena pada zaman Gestapu sebelum tahun 1970-an dulu sedang ngetrend ada drama janger, maka atas kesepakatan kawan-kawan pertunjukan itu diberikan nama drama klasik."Cerita Jayaprana"

Pada 24 Februari 1966 bertepatan dengan upacara wali di Pura Puseh Desa Abianbase, drama klasik itu dipentaskan. Beliau merasa bangga karena banyak sekali masyarakat yang menonton. Bahkan sebelum pentas, yaitu pada waktu latihan saja, banyak penontonnya. Mungkin saja pada zaman itu orang haus tontonan. Mungkin juga karena itu merupakan jenis pertunjukan baru. 

Pertama kali pentas mereka tidak menggunakan panggung, melainkan kalangan atau arena. Bahasa yang digunakan campuran antara bahasa Indonesia dengan Bali. Kalau bertemu dengan pemain tua digunakan bahasa Bali, sedangkan ketemu dengan pemain muda menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesianya pun logat Bali, bahkan logat Abianbase.

Ketika mereka pentas di Banjar Babakan, Sukawati, banyak mantan guru-guru beliau sengaja datang menonton. Sehabis pementasan, penonton - penonton tersebut ke belakang panggung menemui beliau dan salah satu di antara penonton tersebut adalah Bapak IGB Nyoman Pandji, yang kemudian menyarankan agar pertunjukan itu diberi nama "drama gong" karena menggunakan iringan gamelan gong kebyar. Maka, sejak itu, pertunjukan drama klasik mereka berganti nama jadi drama gong. Sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa drama gong baru lainnya.

Beliau juga telah memiliki 111 koleksi judul drama gong, yang diantaranya Semara Nala", "Dukuh Seladri", "Mudita", dan "Cilinaya". Dan sejak 1968 drama gong mereka sudah menggunakan bahasa Bali.