Wayang Kulit

Menurut Babad Bali, Wayang Kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX, yang diiringi dengan menggunakan gamelan gender wayang atau  Pewayangan dalam pementasan atau pertunjukannya.

Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 ( 896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang.

Sejak masa lampau pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat.

Wayang Kulit Cenk Blonk, "Pak Agus Bos Hotel"

Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain.

Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni perwayangan di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang pria.

Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi : dalang, pengiring dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan).

Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125 - 130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).

Kiranya belumlah lengkap jika pembahasan mengenai seni pewayangan Bali tidak dilengkapi dengan adanya beberapa usaha inovasi dan kreatif dari para seniman dalang di pulau ini, atau memalui kerja patungan atau kolaborasi dengan seniman luar atau asing.

Dalam usahanya memberikan nafas baru dalam wayang Parwa, dalang I Made Sidja atau Ida Bagus Ngurah (Buduk) memasukan gamelan Suling atau Gamelan Pegambuhan.

Belakangan ini dalang muda berbakat, Ida Bagus Sudiksa berkali-kali mementaskan wayang kulit Parwa dengan iringan gamelan Angklung lengkap, bahkan pernah dengan gamelan Balaganjur.

Sebagai sajian tugas akhir, baik untuk menyelesaikan program Seniman (setingkat Sarjana) pada jurusan Seni Pedalangan di STSI Denpasar, para mahasiswa juga telah melakukan berbagai percobaan. Misalnya:
  • Penggunaan layar lebar berganda.
  • penggunaan tata-lampu modern, seperti lampu strobo, spot-lights, dan sebagainya.
  • pemakaian overhead-projector untuk menciptakan citra-citra realistis sebagai latar belakang.
  • pemakaian pemain wayang dalam jumlah yang banyak dengan satu orang dalang sebagai narator.
  • pemakaian wayang golek besar.
  • dan lain sebagainya.
Kesemuanya merupakan wujud nyata dari usaha para seniman dalang muda untuk terus menyegarkan kehidupan seni Pewayangan di Bali.

Wayang Kulit pun biasanya dipentaskan dalam upacara Dewa Yadnya, penggunaan Wayang Lemah tersebut mengambil lakon bersifat filsafat seperti cerita Dewa Ruci.
Lelucon klip Wayang Kulit 
"Ceng Blonk"

Cerita Rakyat Bali "Bhima Swarga"